Beranda
Profil
Berita
Kampus
Pop culture
Politik
Opini
Product
Event
Galeri
Kontak
Sampah Jadi Berkah, Perjuangan Umi Tuti Ubah Kampung Kumuh
Jakarta — Bermula dari kawasan kumuh penuh tumpukan sampah, Kampung Belakang Kamal di bilangan Jakarta Barat kini menjelma menjadi lingkungan yang lebih bersih dan produktif berkat sentuhan tangan Umi Tuti Asnawi, seorang pegiat lingkungan berusia 65 tahun. Melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan sampah berbasis bank sampah, Umi berhasil membangun kesadaran warga akan pentingnya memilah dan memanfaatkan sampah secara ekonomi.
Umi mulai terlibat dalam pemberdayaan masyarakat sejak program PNPM Mandiri Perkotaan pada 2006. Ia melihat langsung bagaimana dana miliaran rupiah yang digelontorkan ke wilayah tersebut tidak mampu mengubah kondisi jika pola pikir masyarakat tidak turut dibenahi.
"Masalah utamanya bukan pada dananya, tapi pada mindset masyarakat. Selama itu tidak berubah, suasana juga tidak akan berubah," ujar Umi Tuti, saat ditemui di lokasi Bank Sampah Budi Luhur pada Jumat (9/5/25).
Dari sinilah, ia memutuskan untuk terjun langsung mendampingi warga. Ia memperkenalkan konsep pengelolaan sampah secara sederhana, dimulai dari memilah sampah di rumah masing-masing. Bank sampah pun mulai dirintis di tengah keterbatasan. Saat itu, kerja sama dilakukan langsung dengan pengepul karena belum adanya bank sampah induk.
“Dulu belum ada istilah bank sampah. Kami hanya berbekal kemauan dan keyakinan bahwa sampah yang dikelola bisa menjadi sumber Penghidupan,” jelasnya.
Menurutnya, perubahan mulai terasa ketika masyarakat melihat hasil nyata dari memilah sampah. Lingkungan menjadi lebih bersih, dan Sebagian warga mulai mendapatkan penghasilan tambahan dari hasil pengumpulan sampah anorganik. Umi menyebut pendekatannya sebagai filosofi “pri-kesampahan”, yaitu menjadikan sampah sebagai sahabat, bukan musuh.
“Kalau kita musuhi sampah, dia akan kembali memusuhi kita. Tapi kalau kita bersahabat dengan sampah, maka dia akan memberi berkah,” katanya.
Perjalanan Umi dalam mengelola bank sampah tentu tidak lepas dari berbagai tantangan, termasuk penolakan dari sebagian warga yang merasa sudah cukup berkontribusi lewat iuran kebersihan. Namun hal itu tidak menyurutkan semangatnya.
“Tantangan paling besar adalah mengubah pola pikir. Banyak yang mengeluh, merasa sudah bayar retribusi, jadi tidak perlu ikut memilah. Tapi kita tetap harus sabar, menggunakan bahasa kasih sayang,” ujar Umi.
Ia juga menambahkan, keberhasilan upaya pemberdayaan tidak bisa lepas dari kesabaran, ketulusan, serta keteguhan dalam menjaga niat dan hati.
“Yang penting jaga hati, jaga pikiran, jangan baper. Kalau kita baperan, kita akan cepat lelah. Tapi kalau kita kuatkan diri, insya Allah Gusti Allah juga akan menjaga,” ucapnya.
Kini, bank sampah yang dirintis Umi berkembang secara konsisten sejak 2017. Ia juga aktif bekerja sama dengan perguruan tinggi seperti Universitas Budi Luhur dalam berbagai program lingkungan. Gerakannya telah menginspirasi banyak kalangan, termasuk generasi muda.
Kepada anak-anak muda, Umi berpesan agar tidak menunggu mnjadi ‘seseorang’ untuk bisa memberi manfaat bagi masyarakat dan lingkungan.
“Solusi dari masalah lingkungan tidak akan kalian temukan di bangku kuliah, tapi di lapangan, bersama masyarakat. Jadi lakukan dari sekarang, dengan apa yang ada,” jelasnya.
Dengan berbekal konsep Sajuta (Sabar, Jujur, Tawakal), kini Umi membuktikan bahwa perubahan besar bisa lahir dari hal yang selama ini dianggap sepele, seperti sampah. Kini kampung kumuh di bilangan Jakarta Barat, bukan lagi ‘kampung belakang’, tetapi masyarakat menyebutnya dengan bangga sebagai ‘kampung depan Kamal’, sebagai simbol perubahan dan pemberdayaan.
Author
Admin
Instagram
Youtube
Map-marked-alt
Icon-whatsapp-1